Perbedaan Idul Fitri antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sangat mungkin akan kembali terjadi tahun ini. Pasalnya, ketinggian hilal pada 29 Ramadan 1432 H (29 Agustus 2011) masih di bawah 2 derajat sehingga kecil kemungkinan terlihat dalam proses rukyat.
"Tidak ada teleskop secanggih apa pun yang mampu melihat hilal di ketinggian rendah. Hilal yang dapat dilihat melalui teleskop minimal di ketinggian 4 derajat. Kalau teleskop saja tidak bisa, teorinya melihat hilal dengan mata telanjang akan lebih sulit," jelas Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Thomas Djamaluddin di Jakarta, Minggu (28/8).
Hilal biasanya terlihat dengan mata telanjang bila jarak bulan dan matahari minimal 6,4 derajat dan perbedaan tinggi bulan dan matahari dari ufuk minimal 4 derajat. Bila ketinggiannya kurang dari 4 derajat, hilal mungkin sudah terbentuk (wujudul hilal), namun belum bisa dilihat dengan mata telanjang yang disyaratkan penganut metode imkan rukyat.
"Kalau posisi masih sangat rendah, mungkin rukyat akan gagal melihat hilal. Sehingga Ramadan digenapkan 30 hari dan Idul Fitri akan jatuh pada Rabu (31/8)," terang anggota Badan Hisab dan Rukyat (BHR) tersebut.
Sebelumnya, Pengurus Besar (PB) NU juga sudah memperkirakan, bakal ada dua Idul Fitri, yakni pada 30 dan 31 Agustus. Ketua Umum PB NU Said Aqil Siradj mengatakan, posisi hilal kurang dari 2 derajat sehingga mustahil bulan dilihat dengan mata telanjang. Karena itu, NU mungkin akan menggenapkan Ramadan menjadi 30 hari sehingga Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus.
"NU berpatokan ke hadis, berpuasalah ketika kamu melihat bulan. Itu adalah petunjuk pelaksanaannya. Jadi, nanti akan dilihat ada atau tidak bulannya," terang Said Sabtu lalu (27/8).
Meski demikian, dia meminta potensi perbedaan tersebut tidak disikapi berlebihan. Penganut dua metode itu (hisab dan rukyat) diminta saling menghormati.